Investasi,apa perlu?
Sebagian orang merasa tidak perlu untuk berinvestasi karena merasa dirinya sudah berkecukupan dengan penghasilan yang selama ini diterimanya. Selama memiliki penghasilan rutin, itu sudah cukup. Uang toh tidak bisa dibawa mati, nikmati saja selagi hidup. Setiap bulannya, ia mendapatkan penghasilan untuk kemudian dihabiskan, dan menunggu saat gajian lagi untuk kemudian dihabiskan kembali. Begitu seterusnya, uang mengalir melalui tangannya tanpa ada yang tersisa untuk diinvestasikan.
Betulkah Anda tidak memerlukan investasi? Simak poin-poin di bawah ini:
Fisik tak selamanya sehat dan kuat
Ini sudah pasti. Tak selamanya Anda bisa mengandalkan fisik untuk mencari nafkah.
Bagi Anda yang sudah terbiasa mendapatkan penghasilan dengan cara bekerja mengandalkan fisik, sebagai karyawan misalnya, tentunya Anda sudah merasakan betapa Anda sangat tergantung sekali pada kesehatan fisik Anda. Begitu Anda sakit dan tidak dapat bekerja, otomatis penghasilan pun berkurang. Gaji pokok mungkin masih utuh, tapi Anda bisa kehilangan premi kehadiran. Belum lagi kalau biaya pengobatannya harus ditanggung sendiri. Sudah penghasilan berkurang, harus keluar uang tambahan untuk berobat pula. Apalagi kalau Anda bekerja sendiri, sebagai penjahit misalnya, bisa-bisa Anda kehilangan penghasilan sama sekali di kala sakit.
Walaupun Anda sehat dan tidak pernah mengalami sakit yang serius, namun tetap saja faktor fisik bisa menjadi masalah nantinya. Sesehat apapun fisik Anda, usia pensiun tetap akan membatasi diri dari bekerja. Usia pensiun sudah jelas menjadi kendala permanen untuk bisa bekerja. Walaupun masih kuat dan ingin terus bekerja, namun biasanya perusahaan tidak akan mengizinkan Anda untuk bekerja lebih lama lagi.
Alhasil, gaji pun berhenti. Padahal, kewajiban memberi nafkah bisa jadi belumlah usai. Maka hanya mengandalkan fisik untuk mencari nafkah tidak bisa dilakukan selamanya. Ada saatnya dimana Anda memerlukan sumber nafkah yang tidak tergantung lagi pada kesehatan fisik atau umur.
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah. Kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat; kemudian Dia menjadikan kamu sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. [QS. 30 Ar Rum : 54]
Harga-harga terus naik
Sebagai negara berkembang, inflasi (kenaikan harga) di Indonesia cukup tinggi kalau dibandingkan dengan negara maju. Setiap tahunnya, rata-rata kenaikan harga 10% bisa dibilang cukup normal. Untuk mengantisipasinya, penghasilan masyarakat juga seharusnya bisa naik setidaknya sama seperti kenaikan harga barang, kalau memang tidak bisa lebih tinggi. Bagaimana dengan penghasilan Anda? Apakah mengalami kenaikan setiap tahunnya? Dan apakah kenaikannya bisa mengejar inflasi?
Karena kalau tidak, Anda termasuk orang yang merugi. Dengan jumlah rupiah yang sama, Anda akan mengalami penurunan daya beli. Beras yang tadinya bisa dibeli dengan harga cukup murah, sekarang harus dibayar dengan harga yang lebih tinggi. Itu di saat normal, bagaimana dengan kejadian luar biasa seperti krisis moneter? Krismon mengakibatkan kenaikan yang luar biasa terhadap harga barang-barang kebutuhan pokok, apalagi yang diimpor.
Kebijakan perekonomian negara sepertinya juga tidak membawa keuntungan untuk rakyat. Kenaikan harga BBM, listrik dan telepon sepertinya saling berkejaran. Ini tentu saja mengakibatkan harga-harga lain ikutan naik tak mau ketinggalan.
Tapi sayangnya, yang berlomba untuk naik hanyalah harga-harga yang harus kita bayarkan. Sedangkan gaji dan penghasilan yang kita terima, sepertinya diam di tempat tak mau beranjak. Walaupun ada kenaikan, tapi tetap tak mampu mengejar kenaikan harga yang terus melonjak. Akibatnya, daya beli semakin merosot lagi. Lagi-lagi, kita menjadi orang yang merugi. Karena ternyata hari ini justru lebih buruk dari kemarin.
Tentu saja untuk menyelesaikannya dibutuhkan alternatif sumber pendapatan lain selain dari gaji bulanan saja. Dibutuhkan sumber pendapatan yang bisa mengimbangi kenaikan harga. Malah kalau bisa, mengejar kenaikan harga. Sehingga bisa menjadi orang yang beruntung. Yang hari esoknya lebih baik daripada hari ini. Dan berinvestasi bisa menjadi solusi untuk hal ini.
Dana Cadangan
Terkadang, tidak semua hal berjalan sesuai dengan rencana. Walau rencana sudah disusun matang, namun nampaknya ada saja penghalang yang tak terelakkan. Dan ini tentu saja bisa membawa akibat secara keuangan. Misalnya, jika terjadi kebutuhan mendadak karena sakit atau kecelakaan.
Takdir tak bisa diketahui sebelum memang terjadi. Musibah tak bisa ditolak karena sudah menjadi kehendak yang Maha Berkehendak. Yang bisa kita lakukan hanya mengantisipasinya, agar ketika terjadi sesuatu, kita sudah siap menghadapinya. Semuanya memang tidak kita harapkan, tapi bukankah akan lebih baik jika kita persiapkan. Maka menyimpan uang dalam bentuk investasi bisa jadi adalah pilihan yang baik sebagai Dana Cadangan. Jadi, kenapa tidak sedia payung sebelum hujan.
Allah akan memberikan rahmah kepada seseorang yang berusaha secara halal, membelanjakan secara dengan sederhana dan dapat menabung (menyisihkan kelebihan) untuk menghadapi hari fakirnya dan membutuhkannya[HR. Muttafaqun ‘Alaihi]
Hak Generasi Mendatang
Anak keturunan adalah penenang hati kedua orangtuanya. Tatkala penat pulang bekerja bisa dihapus seketika begitu mendengar tawa anak. Kegembiraan anak adalah kegembiraan orangtuanya. Kesedihan anak adalah kesedihan orangtuanya pula. Maka orang tua yang baik akan melakukan apapun untuk membahagiakan anaknya. Membekalinya dengan iman, ilmu dan harta yang baik. Agar bisa meneruskan tugas suci sebagai khalifah di atas bumi.
Bekalan harta memang bukan hal utama yang harus Anda siapkan untuk masa depan mereka. Namun Islam mengajarkan agar kita tidak meninggalkan keturunan kita dalam kondisi lemah sehingga khawatir dengan kesejahteraan mereka nantinya.
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.[QS.4 An-Nisa : 9]
Seorang muslim bahkan dianjurkan untuk meninggalkan keturunannya dalam keadaan kaya agar mereka tidak perlu meminta-minta sepeninggal orang tuanya. Karena meminta-minta, sungguh, adalah perbuatan yang sangat dibenci Allah.
Sesungguhnya, lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta. [HR. Muttafaqun ‘Alaihi]
Betulkah Anda tidak memerlukan investasi? Simak poin-poin di bawah ini:
Fisik tak selamanya sehat dan kuat
Ini sudah pasti. Tak selamanya Anda bisa mengandalkan fisik untuk mencari nafkah.
Bagi Anda yang sudah terbiasa mendapatkan penghasilan dengan cara bekerja mengandalkan fisik, sebagai karyawan misalnya, tentunya Anda sudah merasakan betapa Anda sangat tergantung sekali pada kesehatan fisik Anda. Begitu Anda sakit dan tidak dapat bekerja, otomatis penghasilan pun berkurang. Gaji pokok mungkin masih utuh, tapi Anda bisa kehilangan premi kehadiran. Belum lagi kalau biaya pengobatannya harus ditanggung sendiri. Sudah penghasilan berkurang, harus keluar uang tambahan untuk berobat pula. Apalagi kalau Anda bekerja sendiri, sebagai penjahit misalnya, bisa-bisa Anda kehilangan penghasilan sama sekali di kala sakit.
Walaupun Anda sehat dan tidak pernah mengalami sakit yang serius, namun tetap saja faktor fisik bisa menjadi masalah nantinya. Sesehat apapun fisik Anda, usia pensiun tetap akan membatasi diri dari bekerja. Usia pensiun sudah jelas menjadi kendala permanen untuk bisa bekerja. Walaupun masih kuat dan ingin terus bekerja, namun biasanya perusahaan tidak akan mengizinkan Anda untuk bekerja lebih lama lagi.
Alhasil, gaji pun berhenti. Padahal, kewajiban memberi nafkah bisa jadi belumlah usai. Maka hanya mengandalkan fisik untuk mencari nafkah tidak bisa dilakukan selamanya. Ada saatnya dimana Anda memerlukan sumber nafkah yang tidak tergantung lagi pada kesehatan fisik atau umur.
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah. Kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat; kemudian Dia menjadikan kamu sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. [QS. 30 Ar Rum : 54]
Harga-harga terus naik
Sebagai negara berkembang, inflasi (kenaikan harga) di Indonesia cukup tinggi kalau dibandingkan dengan negara maju. Setiap tahunnya, rata-rata kenaikan harga 10% bisa dibilang cukup normal. Untuk mengantisipasinya, penghasilan masyarakat juga seharusnya bisa naik setidaknya sama seperti kenaikan harga barang, kalau memang tidak bisa lebih tinggi. Bagaimana dengan penghasilan Anda? Apakah mengalami kenaikan setiap tahunnya? Dan apakah kenaikannya bisa mengejar inflasi?
Karena kalau tidak, Anda termasuk orang yang merugi. Dengan jumlah rupiah yang sama, Anda akan mengalami penurunan daya beli. Beras yang tadinya bisa dibeli dengan harga cukup murah, sekarang harus dibayar dengan harga yang lebih tinggi. Itu di saat normal, bagaimana dengan kejadian luar biasa seperti krisis moneter? Krismon mengakibatkan kenaikan yang luar biasa terhadap harga barang-barang kebutuhan pokok, apalagi yang diimpor.
Kebijakan perekonomian negara sepertinya juga tidak membawa keuntungan untuk rakyat. Kenaikan harga BBM, listrik dan telepon sepertinya saling berkejaran. Ini tentu saja mengakibatkan harga-harga lain ikutan naik tak mau ketinggalan.
Tapi sayangnya, yang berlomba untuk naik hanyalah harga-harga yang harus kita bayarkan. Sedangkan gaji dan penghasilan yang kita terima, sepertinya diam di tempat tak mau beranjak. Walaupun ada kenaikan, tapi tetap tak mampu mengejar kenaikan harga yang terus melonjak. Akibatnya, daya beli semakin merosot lagi. Lagi-lagi, kita menjadi orang yang merugi. Karena ternyata hari ini justru lebih buruk dari kemarin.
Tentu saja untuk menyelesaikannya dibutuhkan alternatif sumber pendapatan lain selain dari gaji bulanan saja. Dibutuhkan sumber pendapatan yang bisa mengimbangi kenaikan harga. Malah kalau bisa, mengejar kenaikan harga. Sehingga bisa menjadi orang yang beruntung. Yang hari esoknya lebih baik daripada hari ini. Dan berinvestasi bisa menjadi solusi untuk hal ini.
Dana Cadangan
Terkadang, tidak semua hal berjalan sesuai dengan rencana. Walau rencana sudah disusun matang, namun nampaknya ada saja penghalang yang tak terelakkan. Dan ini tentu saja bisa membawa akibat secara keuangan. Misalnya, jika terjadi kebutuhan mendadak karena sakit atau kecelakaan.
Takdir tak bisa diketahui sebelum memang terjadi. Musibah tak bisa ditolak karena sudah menjadi kehendak yang Maha Berkehendak. Yang bisa kita lakukan hanya mengantisipasinya, agar ketika terjadi sesuatu, kita sudah siap menghadapinya. Semuanya memang tidak kita harapkan, tapi bukankah akan lebih baik jika kita persiapkan. Maka menyimpan uang dalam bentuk investasi bisa jadi adalah pilihan yang baik sebagai Dana Cadangan. Jadi, kenapa tidak sedia payung sebelum hujan.
Allah akan memberikan rahmah kepada seseorang yang berusaha secara halal, membelanjakan secara dengan sederhana dan dapat menabung (menyisihkan kelebihan) untuk menghadapi hari fakirnya dan membutuhkannya[HR. Muttafaqun ‘Alaihi]
Hak Generasi Mendatang
Anak keturunan adalah penenang hati kedua orangtuanya. Tatkala penat pulang bekerja bisa dihapus seketika begitu mendengar tawa anak. Kegembiraan anak adalah kegembiraan orangtuanya. Kesedihan anak adalah kesedihan orangtuanya pula. Maka orang tua yang baik akan melakukan apapun untuk membahagiakan anaknya. Membekalinya dengan iman, ilmu dan harta yang baik. Agar bisa meneruskan tugas suci sebagai khalifah di atas bumi.
Bekalan harta memang bukan hal utama yang harus Anda siapkan untuk masa depan mereka. Namun Islam mengajarkan agar kita tidak meninggalkan keturunan kita dalam kondisi lemah sehingga khawatir dengan kesejahteraan mereka nantinya.
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.[QS.4 An-Nisa : 9]
Seorang muslim bahkan dianjurkan untuk meninggalkan keturunannya dalam keadaan kaya agar mereka tidak perlu meminta-minta sepeninggal orang tuanya. Karena meminta-minta, sungguh, adalah perbuatan yang sangat dibenci Allah.
Sesungguhnya, lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta. [HR. Muttafaqun ‘Alaihi]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home